Rabu, 03 Maret 2010

FILSAFAT ILMU DAKWAH

1. Hakikat Filsafat Ilmu Dakwah
Filsafat ilmu dakwah ialah suatu penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dakwah dan penyelidikan tentang cara-cara bagaimana ilmu dakwah itu diperoleh. Sesungguhnya filsafat ilmu dakwah merupakan suatu penyelidikan lanjutan terhadap penyelenggara ilmu dakwah melakukan penyelidikan terhadap faktisitas dakwah. Atas penyelidikan yang dilakukan oleh ilmu dakwah terhadap faktisitas dakwah itu, filsuf ilmu dakwah mengadakan penyelidikan terhadap kegiatan ilmiah tersebut. Dengan mengalihkan perhatian dari objek yang ditangani oleh ilmu dakwah, kepada cara-cara dan ciri-ciri ilmu dakwah menyelenggarakan kegiatan ilmiahnya, dengan cara demikian filsafat ilmu dakwah akan menemukan suatu matra baru; Yakni segi-segi yang menonjol serta latar belakang segenap kegiatan keilmuan dakwah akan menjadi tampak. Berangkat dari sini, maka akan menjadi semakin tampak dan jelas saling hubungan antara objek yang dikaji oleh ilmu dakwah dengan metode penelitian yang digunakannya, antara pendekatan ilmiahnya dengan pengolahan data-data secara ilmiahnya, antara temuan-temuan data dengan model analisisnya. Dengan demikian filsafat ilmu dakwah merupakan suatu bentuk pemikiran yang mendalam yang berkelanjutan (secondary reflexion).
Di dalam tahap perkembangan penyelenggaraan ilmu dakwah yang dipercepat dan jalin menjalin antara Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), Managemen Dakwah (MD), dan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI), termasuk di dalamnya secara perspektival kefakultasan dakwah mengenai program studi Sosiologi, Komunikasi, dan Psikologi; maka refleksi skunder yang demikian itu merupakan syarat mutlak untuk menentang tumpang tindih, cerai berai, serta pertumbuhan yang tidak seimbang di antara ilmu-ilmu kedakwahan. Sejalan dengan suatu keadaan ilmu dakwah itu seniri – meskipun ilmu yang bersangkutan telah mengalami pertumbuhan dan perkembangannya – diperlukannya refleksi kedua dalam ilmu dakwah untuk memberi tekanan dan perhatian kepada metodika dan sistematika serta berusaha untuk memperoleh pemahaman mengenai azas-azas, latar belakang-latar belakang, dan hubungan-hubungan yang dimiliki oleh kegiatan-kegiatan keilmiahan dakwah.
Refleksi kedua ilmu dakwah selain memeberikan tekanan terhadap berbagai hal di atas, masih dapat memberikan sumbangan dalam dua bentuk: yakni de facto dan de jure. Dalam de facto dapat mengambil tiga sumbangan:
Pertama; kita dapat mengarahkan metode-metode dan model-model analisis mengenai penyelidikan ilmiah yang khas bagi jurusan-jurusan dan program studi dalam lingkungan keilmuan dakwah.
Kedua; analisis sejarah ilmu dakwah dapat menerangkan saling hubungan kesejenisan internal ilmu-ilmu dakwah maupun hubungan antara ilmu-ilmu dakwah dengan ilmu-ilmu lain di luar kesejenisannya.
Ketiga; psikologi ilmu dakwah dan sosiologi ilmu dakwah dapat menyelidiki proses-proses, struktur-struktur, faktor-faktor serta syarat-syarat yang berlaku baik dalam penyelenggaraan kegiatan-kegiatan ilmiah secara ilmu demi ilmu maupun secara kolektif. Di dalam ketiga macam bentuk refleksi ilmiah itu dilakukan penyelidikan mengenai latar belakang-latar belakang serta hubungan-hubungan yang bersifat faktual, dipertanyakan pula asal mula yang mempertumbuhkan serta yang memungkinkan timbulnya penyelenggaraan kegiatan-kegiatan keilmuan dakwah, atau sebaliknya yang merintangi maupun yang membatasi kegiatan-kegiatan ilmu dakwah diselenggarakan.
Dalam menerapkan penyelidikan kefilsafatan terhadap penyelenggaraan kegiatan ilmiah mengenai dakwah, kita juga dapat mempertanyakan secara de jure mengenai landasan-landasan serta azas-azas yang memungkinkan ilmu dakwah untuk memberikan pembenaran terhadap dirinya sendiri serta apa yang dianggap oleh ilmu dakwah itu benar. Perbedaan antara filsafat ilmu dakwah dengan sejarah ilmu dakwah, psikologi ilmu dakwah, dan sosiologi ilmu dakwah terletak pada masalah yang hendak dipecahkan serta pada metode yang digunakan. Filsafat ilmu dakwah tidak berhenti pada pertanyaan mengenai bagaimana pertumbuhan serta penyelenggaraan ilmu dakwah itu dilaksanakan dalam kenyataannya, tetapi juga mempersoalkan masalah metodologika. Yaitu masalah azas-azas serta alasan-alasan yang menyebabkan ilmu dakwah dapat mengatakan bahwa ia memperoleh pengetahuan ilmiah.
Pertanyaan secara de jure ini tidak akan dapat dijawab dalam lingkungan ilmu dakwah itu sendiri, dan juga tidak dalam refleksi ilmiah terhadap ilmu dakwah. Tetapi pertanyaan de jure itu membutuhkan analisis kefilsafatan mengenai tujuan serta cara kerja ilmu dakwah. Dan ini tidak berarti perenungan kefilsafatan dakwah dapat dipisahkan dari penyelenggaraan ilmu dakwah yang sebenarnya. Bahkan sebaliknya, syarat mutlak bagi filsafat ilmu dakwah yang mengandung makna ialah adanya pengetahuan mengenai permasalahan yang terdapat dalam ilmu-ilmu kedakwahan secara mendalam. Pertalian antara filsafat dakwah, filsafat ilmu dakwah, ilmu dakwah, dan pengetahuan berdakwah haruslah terjelma sedemikian rupa pada pribadi filsuf dakwah. Ia harus berdasarkan atas pengalamannya sendiri secara sungguh-sungguh adanya berbagai macam cara yang tidak sama yang dapat digunakan bagi penyelenggaraan beberapa bidang atau jurusan dalam lingkungan ilmu-ilmu kedakwahan serta keahlian dalam berbagai penerapan berdakwah. Jika tidak demikian maka akan ada bahaya besar. Yakni kita akan bertitik tolak pada gambaran-gambaran skematik sesudah melakukan refleksi, dan bukan bertitik tolak pada proses penyelenggaraan ilmu dakwah berlangsung.
Jadi memang terdapat perbedaan antara cara berfikir dalam prosedur penyelenggaraan ilmu dakwah yang harus dilakukan dengan cara berfikir bagaimana hasil penyelidikan ilmiah mengenai dakwah disajikan. Prosedur penyelenggaraan berfikir mengenai langkah-langkah yang harus ditempuh oleh ilmuwan dakwah yang berarti berfikir tentang metodologinya, dan bagaiman hasil dari langkah-langkah yang ditempuh itu disajikan, yang berarti berfikir mengenai sistematika pembahasannya.
Bentuk yang telah tersedia berhubungan dengan susunan logik dan sistematika penyajian dari hasil-hasil penyelidikan ilmiah mengenai dakwah yang melelahkan itu sering menutupi pergulatan dalam cara berfikir yang berliku-liku menyangkut prosedur dan analisisnya. Ada kecenderungan untuk memasukkan yang pertama ke dalam bidang penyelidikan filsafat ilmu dakwah dan yang kedua ke dalam bidang psikologi ilmu dakwah. Sistematika memang dapat dibedakan dari metodologi, tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan; hanya keduanya dapat dianalisis melalui pendekatan filosofis maupun psikologis.
Jika kita melakukan refleksi sebagaimana di atas maka penyelenggaraan ilmu dakwah, menyangkut keberadaan manusia dalam hubungannya denga peristiwa dakwah dapat dipahami bahwa manusia sebagai “aku yang sadar” (co gito)-nya Descartes, atau “aku transendental”-nya atau “noumen”-nya Kant dan Husserl, atau “das sein”-nya Heidegger, atau “exsistential”-nya Kierkegaard. Ini berarti bahwa cara peninjauan terhadap diri sendiri serta untuk memberikan pertangungjawaban terhadap diri sendiri berhubung dengan pengetahuannya terhadap peristiwa dakwah, secara khas dinamakan “cara ilmiah”. Artinya kegiatan manusia mengenai cara bagaimana ia berhubungan dengan peristiwa dakwah yang disebut sebgai hubungan “eksternal”, dan cara bagaimana ia mencerna di dalam pikirannya mengenai dakwah disebut “internal” yang kedua-duanya menentukan derajat keilmiahan ilmu dakwah.
Dalam suatu refleksi mengenai filsafat ilmu dakwah, maka filsafat ilmu dakwah itu masih dapat membedakan antara filsafat ilmu dakwah secara luas dengan filsafat ilmu dakwah secara terbatas. Dalam filsafat ilmu dakwah secra luas, ia menampung permasalahan yang menyangkut hubungan-hubungan ke luar dari kegiatan ilmiah. Seperti implikasi-implikasi ontologik-metafisik dari citra dakwah yang bersifat ilmiah, norma-norma yang menjadi pegangan penyelenggaraan keilmuan dakwah, konsekuensi-konsekuensi pragmatik-etik penyelenggaraan ilmu dakwah, dan sebagainya. Sedangkan filsafat ilmu dakwah secara terbatas menampung permasalahan yang bersangkutan dengan hubungan-hubungan ke dalam yang terdapat dalam ilmu dakwah, yaitu yang menyangkut sifat ilmiah dari pengetahuan dakwah dan cara-cara mengusahakan serta mencapai pengetahuan dakwah sebagai yang memiliki derajat pengetahuan ilmiah.
Situasi yang demikian ini, kita dapat menentukan kedudukan filsafat ilmu dakwah di bawah lingkungan filsafat ilmu pada umumnya. Tempat kedudukan tersebut di tentukan oleh dua lapangan penyelidikan filsafat ilmu dakwah; yakni “sifat ilmiah pada pengetahuan dakwah”, dan cara-cara mengusahakan mengetahui dakwah secara ilmiah”. Di dalam yang pertama filsafat ilmu dakwah berhubungan erat dengan filsafat pengetahuan dakwah atau epistemologi dakwah, yang secara umum berhubungan dengan syarat-syarat serta bentuk-bentuk pengetahuan manusia mengenai peristiwa dakwah, dan yang kedua; filsafat ilmu dakwah berhubungan dengan logika dan metodologi, dalam hal ini filsafat ilmu dakwah dijumbuhkan dengan metodologi penelitian dakwah.
Secara demikian ilmu yang lapangan kajiannya adalah budaya dan masyarakat Islam dalam suatu perspektif amar ma’ruf nahi munkar dengan pola dakwah ini sesungguhnya merupakan suatu kelompok ilmu khusus. Filsafat ilmu khusus, seperti filsafat ilmu dakwah ini membicarakan masalah susunan logik dan metodologi perlu dibedakan dengan ilmu-ilmu khusus yang lain. Misalnya dengan kelompok ilmu alam, ilmu bahasa, ilmu teknik, ilmu politik, ilmu hukum, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi, ilmu kepurbakalaan dan sebagainya. Namun demikian kategori-kategori maupun metode-metode yang digunakan di dalam ilmu alam dianggap sebagai pola yang mendasari bagi kelompok ilmu-ilmu yang lainnya. Perlu diingat bahwa masalah kesatuan, keragaman, dan hubungan di antara segenap ilmu sampai saat ini masih merupakan suatu persoalan yang memerlukan penegasan dalam kaitannya dengan masalah hubungan antara ilmu dan kenyataan, kesatuan, penjenjangan, serta susunan kenyataan dan sebagainya.
Kiranya perlu menunjukkan ciri khas yang dapat mengantarkan pemahaman mengenai sifat ilmiah serta penyelenggaraan ilmu dakwah.
Pertama; Ciri pengenal mengenai pengetahuan dakwah sebagai pengetahuan ilmiah ialah adanya anggapan bahwa pengetahuan dakwah tersebut berlaku secara umum. Tidak didasarkan pada kesan, subjektifitas, kesesuaian dengan ajaran politik atau agama tertentu. Dalam keilmuan dakwah kesulitan terletak pada subjektifitas yang lebih tertarik pada masalah tersebut dibanding dengan pembuktian objektif.
Kedua; terdapat suatu keadaan saling mempengaruhi antara sifat serta kadar pengetahuan ilmiah bidang pengetahuan dakwah di satu pihak, dengan sarana-sarana yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan dakwah. Ini berarti dalam perjalan sejarah ilmu dakwah akan terjadi pergeseran dalam isi pengertian “ilmiah” pada pengetahuan dakwah sebagai akibat masuknya pengaruh dari luar faktor ilmiah. Hanya, adanya faktor dari luar jangan sampai menghentikan keotonomian atau kedaulatan diri dalam usaha memperkembangkan norma-norma ilmiah bagi keilmuan dakwah sendiri. Artinya pertimbangan-pertimbangan keilmuan dakwah hanya melulu pada pertimbangan evidensi dakwah. Bukan pada panorama etik-keagamaan, kemanfaatan bagi rakyat, keuntungan ekonomi, untuk dukungan politik, dan sebagainya.
Ketiga; ilmu dakwah dipandang sebagai bagian integral dari kebudayaan dan masyarakat. Sesungguhnya tidak ada pendirian yang menganut paham “ilmu demi ilmu” atau ilmu diusahakan semata-mata untuk dirinya sendiri. Suatu kenyataan bahwa ilmu dakwah telah jalin menjalin dengan masyarakat dan membawa akibat-akibat di dalam masyarakat. Demikianlah keadaan ilmu dakwah yang sering kabur untuk memisahkan suatu penyelenggaraan ilmiahnya, antara penyelidikan ilmiah murni dengan penyelidikan ilmiah terapan.
Oleh karena apa yang kita bicarakan dalam filsafat ilmu dakwah ini dimaksudkan sebagai berbicara mengenai penyelidikan peristiwa dakwah dengan pendekatan ilmiah murni, maka ciri-ciri ilmu dakwah selain sebagaimana tersebut di atas, juga memiliki ciri-ciri sebagaimana penyelidikan-penyelidikan ilmiah murni sebagaimana ilmu-ilmu murni pada umumnya. Pertanyaannya adalah; apakah yang dimaksud dengan kata ilmiah yang melekat pada ungkapan “pengetahuan serta cara-cara kerja ilmiah?”. Terhadap pertanyaan itu dapatlah diberikan jawaban bahwa; pengetahuan ilmiah merupakan pengetahuan yang memiliki dasar-dasar pembenaran, bersifat sistematik, dan bersifat intersubjektif. Dan ada saling hubungan antar ketiga macam ciri pengenal itu.
Pengetahuan ilmiah dikatakan memiliki dasar-dasar pembenaran karena pengaturan cara kerja ilmiah diarahkan memperoleh derajat kepastian yang sebesar mungkin. Pernyataan-pernyataan harus dapat didasarkan atas pemahaman yang dapat dibenarkan secara a priori dan didasarkan pula atas hasil-hasil tangkapan empirik yang dikaji secara ilmiah secukupnya.
Pengetahuan ilmiah bersifat sistematik; hendaknya terdapat sistem di dalam pengetahuan dan di dalam cara memperoleh pengetahuan. Penyelidikan ilmiah tidak cukup hanya mendasarkan pada satu keterangan, melainkan senantiasa meletakkan hubungan antara sejumlah bahan keterangan, dan berusaha hubungan-hubungan tersebut merupakan suatu kebulatan. Memperhubungan dengan jalan melakukan komparasi, subsumasi, dan generalisasi diusahakan untuk sedapat mungkin meletakkan hubungan yang bersifat sistematik secara horizontal di atas berbagai bidang penyelidikan, isi pengetahuan, serta lapangan objek. Hubungan secara vertikal diusahakan dengan jalan mempertemukan seruntut mungkin berbagai langkah penyelidikan ilmiah.
Sifat intersubjektif pengetahuan ilmiah berhubungan dengan dua cirinya yang telah disebut. Namun kepastian pengetahuan ilmiah tidak hanya didasarkan atas intuisi-intuisi serta pemahaman-pemahaman orang seorang yang bersifat subyektif, melainkan dijamin oleh sistem itu sendiri. Penyelenggara ilmu memang tetap harus ada, tetapi hendaknya sedapat mungkin agar dapat digantikan kedudukannya oleh orang lain.
Dengan melepaskan penyelenggaraan ilmu dakwah dari subjek orang-per-orang, dimaksudkan agar pengetahuan ilmiah mengenai dakwah memperoleh sifat yang umum. Pengetahuan ilmiah mengenai dakwah memang harus dilakukan dan disajikan sedemikian rupa sehingga di dalam setiap bagiannya dan di dalam hubungan yang menyeluruh, dapat ditanggapi oleh para ilmuwan lain yang sama keahliannya. Ini berarti terhadap hasil-hasil penyelidikan ilmiah, harus dimungkinkan adanya kesepakatan yang bersifat intersubjektif.
2. Tujuan Penyelidikan Ilmu Dakwah
Filosof ilmu dakwah dapat melihat mekanisme kerja para ilmuwan dakwah untuk mematangkan pengetahuan dakwah secara ilmiah yang dapat memenuhi standard ilmiah sebagaimana ilmu-ilmu pada umumnya. Upaya ilmuwan dakwah itu merupakan cara untuk dapat merumuskan tujuan penyelidikan ilmiah. Dalam sejumlah persoalan tertentu, ilmuwan dakwah ada yang merasa puas bila dapat menetapkan bagaimana suatu peristiwa dakwah berlangsung. Misalnya dalam bentuk bagaimana revolusi keagamaan (baca Islam) pada masa Rasulullah, atau bagaimana suatu keyakinan Islam masuk di Eropa (melalui pedang) berbeda dengan keyakinan Islam masuk Asia (melali perdamaian). Apakah bentuk dakwah Wali-Songo sebagai akuisisi tradisi, atau sebagai kontra tradisi? Bagaimana suatu asimilasi antara nilai-nilai ajaran Islam dengan tradisi lokal dapat terjadi? Bila keterbukaan tradisi nusantara dianggap sebagai fakta, bagaimanakah dakwah berlangsung? Bagaimana hubungan antara da’i dan mad’u? bagaimana hubungan antara pesan dakwah, metode dakwah dengan media dakwah? Hubungan-hubungan apa yang terjadi antara da’i, pesan dakwah, metode dakwah, media dakwah, dan mad’u? Kebiasaan-kebiasaan dakwah apa yang menyangkut perkawinan, tingkeban, kelahiran, khitanan, dan kematian? Penyelidikan semacam ini berarti gejala-gejala dakwah dicatat dalam keadaannya yang saling berhubungan, maka penyelidikan semacam ini dikatakan sebagai penyelidikan deskriptif; suatu penyelidikan dengan tujuan ingin menetapkan bagaimana keadaan dakwah secara tepat.
Deskripsi mengenai dakwah yang disusun ilmuwan dakwah itu menunjukkan bahwa ilmuwan dakwah ingin membawa ilmu dakwah kepada kemajuan dengan mempertanyakan mengapa terjadi dakwah dengan pedang di Eropa dan dengan perdamaian di Asia? Mengapa dakwah wali-songo dengan pendekatan akulturasi? Mengapa pola dakwah berbeda dengan pola pendidikan, pengadilan, dan kepolisian? Mengapa upacara-upacara tradisional lebih diisi dengan nilai-nilai ajaran Islam? Penyelidikan semacam ini; berari ilmuwan dakwah bertujuan ingin menjaga agar penjelasan-penjelasan ilmiah tentang dakwah tidak menjadi penjelasan terakhir atau yang terakhir dan tidak dapat berubah lagi. Maka penyelidikan semacam ini dinamakan penyelidikan exspilative. Penjelasan-penjelasan ilmiah tentang dakwah seperti di atas, tetap merupakan penjelasan yang bersifat sementara dan siap untuk diperluas, diperdalam, dipertajam, diperbaiki, dan bahkan diganti.
Pertanyaan selanjutnya ialah penjelasan ilmiah mana yang dapat memberikan perasaan puas? Apakah ilmu dakwah hanya akan menjelaskan peristiwa-peristiwa dakwah yang terkenal? Atau memperjelas suatu peristiwa dakwah yang tidak terkenal menjadi lebih terkenal? Penjelasan memuaskan yang diminta oleh filosof dakwah kepada ilmuwan dakwah adalah suatu penjelasan yang harus didasarkan atas suatu analogi atau mekanisme yang dapat dibayangkan.
Baik deskripsi maupun ekspilasi ilmu dakwah, dapat berakhir dengan perumusan hukum-hukum umum seperti yang terjadi pada pelbagai bidang, seperti pada bidang ilmu alam, ilmu masyarakat, ilmu bahasa. Misalnya ilmuwan dakwah menjelaskan gejala dakwah melalui hukum grafitasi. Daya tarik apakah yang dimiliki oleh da’i sehingga banyak mad’u tertarik dan fanatik kepadanya? Atau gejala dakwah dapat dijelaskan dengan hukum indeterminisme. Mengapa seseorang yang setiap saat mendengarkan atau membaca pesan dakwah, tetapi dalam perilaku ekonomi atau perilaku politiknya tidak mencerminkan nilai-nilai ajaran Islam? Ilmuwan-ilmuwan dakwah juga dapat menjelaskan hukum-hukum gejala dakwah melalui penjelasan analogis dengan hukum determisme (kondisi mad’u ditentukan oleh lingkungan) dan fatalisme (suatu keadaan di mana mad’u tunduk pada ketentuan Allah), atau penjelasan-penjelasan melalui hukum evolusi. Suatu penjelasan ilmiah mengenai dakwah yang dimulai dari masyarakat yang mati (tidak ada aktivitas Islami dalam masyarakat itu) dapat berubah menjadi masyarakat Islami.
Ilmuwan dakwah juga dapat mengambil penjelasan dakwah melalui hukum-hukum kemasyarakatan, atau norma-norma yang berlaku pada masyarakat tertentu. Norma pada masyarakat petani berbeda dengan norma pada masyarakat industri. Norma yang berkembang pada masyarakat NU berbeda dengan norma pada masyarakat Muhammadiyah dan seterusnya. Bahwa norma atau tradisi pada masyarakat tertentu akan menciptakan pelaksanaan maupun pesan dakwah, atau metode dakwah, atau media dakwah yang berbeda. Demikian pula mengenai hukum-hukum bahasa yang berakar atas budaya, tradisi, dan norma.
Akibat dari penjelasan ilmuwan mengenai gejala dakwah menggunakan analogi hukum atau mekanis dapat memberikan kemungkinan untuk dalam keadaan tertentu ilmu dakwah bermaksud meramalkan (prediction) gejala-gejala apa yang terjadi dalam suatu masyarakat tertentu. Kadang-kadang prediction juga merupakan tujuan dari ilmu dakwah. Sekalipun peramalan bukan merupakan tujuan pokok, namun peramalan merupakan akibat dari hasil penyelidikan yang bersifat dekriptif maupun ekspilatif. Filsuf dakwah dapat mengakui bahwa ramalan-ramalan ilmiah mengenai dakwah itu dapat memainkan peranan yang pokok dalam penyelidikan mengenai kebenaran keajegan-keajegan dakwah yang dianggap terjadi.
Akibat kedua dari ditemukannya suatu keajegan-keajegan dakwah yang berlangsung dalam suatu masyarakat tertentu ialah adanya kemungkinan untuk mengawasi (control) secara ilmiah terhadap kelompok gejala yang sejenis. Hanya saja ada kesulitan-kesulitan dari segi etis bagi ilmuwan untuk melakukukan pengawasan terhadap pelaksanaan dakwah yang dilakukan oleh da’i dalam suatu masyarakat tertentu, namun betapapun demikian, hasil penyelidikan ilmiah tersebut merupakan sumber yang kaya terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dakwah.
Di dalam penyelidikan mengenai dakwah, peneliti terkadang juga ingin menetapkan makna terhadap suatu gejala dakwah yang berlangsung. Penetapan makna terhadap suatu gejala dakwah yang berlangsung ini berarti ilmuwan dakwah bertujuan interpretative. Atau dapat dikatakan bahwa penyelidikan interpretatif merupakan penyelidikan untuk menetapkan makna yang dikandung oleh gejala-gejala dakwah yang diselidiki. Misalnya tahlilan dalam upacara kematian dianggap sebagai asimilasi budaya lokal dengan dakwah Islamiah dan dipertahankan kelestariannya di dalam masyarakt, terutama dipelopori oleh kelompok NU. Tetapi valentin sebagai budaya Barat sulit diadopsi oleh Islam.

5 komentar:

  1. Assalamu'alaikum, pak masduqi.
    Saya mahasiswa KPI semester 2 mata kuliah ilmu dakwah.
    Nama : Rachmad Buyung Wafa
    NIM : B31211056
    di judul filsafat ilmu dakwah ini yang saya tangkap adalah bagaimana membedakan antara ilmu dakwah dan berdakwah. Karena ilmu itu memang harus mengandung Ontologi,Epistemologi, dan aksiologi. Kegiatan ilmu dakwah adalah meneliti atau mengkaji kegiatan berdakwah dari ketiga segi yang telah saya sebutkan. Dengan tujuan untuk menjadikan kegiatan berdakwah lebih baik dari yang sudah ada, bukan hanya sebagai common sense.
    Kemudian selanjutnya yang perlu saya komentari adalah mengenai penataan tulisan pak masduqi di blog ini, kurang teratur. Sehingga pembaca merasa kesulitan untuk dapat memahami tulisan pak masduqi.
    Sekian yang dapat saya komentari pak. terimakasih atas bimbingannya selama ini,
    assalamu'alaikum.

    BalasHapus
  2. Assalamu'alakum,, pak masduqi....
    Nama: Mar'atus Sholihah
    Nim: B01211042
    Jurusan/sms/kelas: KPI/A2
    suatu pelajaran atau ilmu bila sedah menjadi atau masuk dalam kategori sebagai disiplin ilmu, maka dalam ilmu tersebut haruslah mengenai 3 unsur yakni ontologi, epistimologi, dan aksiologi. begitu pula materi ilmu dakwah yang menjadi salah satu disiplin ilmu.
    mengena penyusuan kata-kata, bahasanya cukup membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk memahaminya.

    BalasHapus
  3. Assalamu'alaikum....
    Nama: Ahmad Yani
    Nim: B01211036
    Jurusan/sms/kelas: KPI/A2
    kurang bisa untuk memahami isinya....

    BalasHapus
  4. assalamualaikuma
    nama; eko dian wahyudi
    kls; kpi a2
    bagaima membedakan antara hakikat(ontologi)ilmu dakwah denga berdakwak karena sepemahaman saya itu tidak jauh bedanya..

    BalasHapus
  5. Assalamu'alaikum
    Nama : Risqillailia Yusdita N
    Kelas : KPI A2

    Disini yang dapat saya fahami adalah bagaimana cara membedakan antara Ilmu Dakwah dan berdakwah. Yang dimana dalam ilmu dakwah memiliki 3 variable, yakni ontologi (objek yang dtelitinya), epistemologi dan aksiologi.
    mungkin hanya ini saja yang dapat saya sampaikan, terimaksih ats bimbingan bapak selama ini.
    Wassalamu'alaikum..

    BalasHapus