Rabu, 03 Maret 2010

FILSAFAT ILMU DAKWAH

1. Hakikat Filsafat Ilmu Dakwah
Filsafat ilmu dakwah ialah suatu penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dakwah dan penyelidikan tentang cara-cara bagaimana ilmu dakwah itu diperoleh. Sesungguhnya filsafat ilmu dakwah merupakan suatu penyelidikan lanjutan terhadap penyelenggara ilmu dakwah melakukan penyelidikan terhadap faktisitas dakwah. Atas penyelidikan yang dilakukan oleh ilmu dakwah terhadap faktisitas dakwah itu, filsuf ilmu dakwah mengadakan penyelidikan terhadap kegiatan ilmiah tersebut. Dengan mengalihkan perhatian dari objek yang ditangani oleh ilmu dakwah, kepada cara-cara dan ciri-ciri ilmu dakwah menyelenggarakan kegiatan ilmiahnya, dengan cara demikian filsafat ilmu dakwah akan menemukan suatu matra baru; Yakni segi-segi yang menonjol serta latar belakang segenap kegiatan keilmuan dakwah akan menjadi tampak. Berangkat dari sini, maka akan menjadi semakin tampak dan jelas saling hubungan antara objek yang dikaji oleh ilmu dakwah dengan metode penelitian yang digunakannya, antara pendekatan ilmiahnya dengan pengolahan data-data secara ilmiahnya, antara temuan-temuan data dengan model analisisnya. Dengan demikian filsafat ilmu dakwah merupakan suatu bentuk pemikiran yang mendalam yang berkelanjutan (secondary reflexion).
Di dalam tahap perkembangan penyelenggaraan ilmu dakwah yang dipercepat dan jalin menjalin antara Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), Managemen Dakwah (MD), dan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI), termasuk di dalamnya secara perspektival kefakultasan dakwah mengenai program studi Sosiologi, Komunikasi, dan Psikologi; maka refleksi skunder yang demikian itu merupakan syarat mutlak untuk menentang tumpang tindih, cerai berai, serta pertumbuhan yang tidak seimbang di antara ilmu-ilmu kedakwahan. Sejalan dengan suatu keadaan ilmu dakwah itu seniri – meskipun ilmu yang bersangkutan telah mengalami pertumbuhan dan perkembangannya – diperlukannya refleksi kedua dalam ilmu dakwah untuk memberi tekanan dan perhatian kepada metodika dan sistematika serta berusaha untuk memperoleh pemahaman mengenai azas-azas, latar belakang-latar belakang, dan hubungan-hubungan yang dimiliki oleh kegiatan-kegiatan keilmiahan dakwah.
Refleksi kedua ilmu dakwah selain memeberikan tekanan terhadap berbagai hal di atas, masih dapat memberikan sumbangan dalam dua bentuk: yakni de facto dan de jure. Dalam de facto dapat mengambil tiga sumbangan:
Pertama; kita dapat mengarahkan metode-metode dan model-model analisis mengenai penyelidikan ilmiah yang khas bagi jurusan-jurusan dan program studi dalam lingkungan keilmuan dakwah.
Kedua; analisis sejarah ilmu dakwah dapat menerangkan saling hubungan kesejenisan internal ilmu-ilmu dakwah maupun hubungan antara ilmu-ilmu dakwah dengan ilmu-ilmu lain di luar kesejenisannya.
Ketiga; psikologi ilmu dakwah dan sosiologi ilmu dakwah dapat menyelidiki proses-proses, struktur-struktur, faktor-faktor serta syarat-syarat yang berlaku baik dalam penyelenggaraan kegiatan-kegiatan ilmiah secara ilmu demi ilmu maupun secara kolektif. Di dalam ketiga macam bentuk refleksi ilmiah itu dilakukan penyelidikan mengenai latar belakang-latar belakang serta hubungan-hubungan yang bersifat faktual, dipertanyakan pula asal mula yang mempertumbuhkan serta yang memungkinkan timbulnya penyelenggaraan kegiatan-kegiatan keilmuan dakwah, atau sebaliknya yang merintangi maupun yang membatasi kegiatan-kegiatan ilmu dakwah diselenggarakan.
Dalam menerapkan penyelidikan kefilsafatan terhadap penyelenggaraan kegiatan ilmiah mengenai dakwah, kita juga dapat mempertanyakan secara de jure mengenai landasan-landasan serta azas-azas yang memungkinkan ilmu dakwah untuk memberikan pembenaran terhadap dirinya sendiri serta apa yang dianggap oleh ilmu dakwah itu benar. Perbedaan antara filsafat ilmu dakwah dengan sejarah ilmu dakwah, psikologi ilmu dakwah, dan sosiologi ilmu dakwah terletak pada masalah yang hendak dipecahkan serta pada metode yang digunakan. Filsafat ilmu dakwah tidak berhenti pada pertanyaan mengenai bagaimana pertumbuhan serta penyelenggaraan ilmu dakwah itu dilaksanakan dalam kenyataannya, tetapi juga mempersoalkan masalah metodologika. Yaitu masalah azas-azas serta alasan-alasan yang menyebabkan ilmu dakwah dapat mengatakan bahwa ia memperoleh pengetahuan ilmiah.
Pertanyaan secara de jure ini tidak akan dapat dijawab dalam lingkungan ilmu dakwah itu sendiri, dan juga tidak dalam refleksi ilmiah terhadap ilmu dakwah. Tetapi pertanyaan de jure itu membutuhkan analisis kefilsafatan mengenai tujuan serta cara kerja ilmu dakwah. Dan ini tidak berarti perenungan kefilsafatan dakwah dapat dipisahkan dari penyelenggaraan ilmu dakwah yang sebenarnya. Bahkan sebaliknya, syarat mutlak bagi filsafat ilmu dakwah yang mengandung makna ialah adanya pengetahuan mengenai permasalahan yang terdapat dalam ilmu-ilmu kedakwahan secara mendalam. Pertalian antara filsafat dakwah, filsafat ilmu dakwah, ilmu dakwah, dan pengetahuan berdakwah haruslah terjelma sedemikian rupa pada pribadi filsuf dakwah. Ia harus berdasarkan atas pengalamannya sendiri secara sungguh-sungguh adanya berbagai macam cara yang tidak sama yang dapat digunakan bagi penyelenggaraan beberapa bidang atau jurusan dalam lingkungan ilmu-ilmu kedakwahan serta keahlian dalam berbagai penerapan berdakwah. Jika tidak demikian maka akan ada bahaya besar. Yakni kita akan bertitik tolak pada gambaran-gambaran skematik sesudah melakukan refleksi, dan bukan bertitik tolak pada proses penyelenggaraan ilmu dakwah berlangsung.
Jadi memang terdapat perbedaan antara cara berfikir dalam prosedur penyelenggaraan ilmu dakwah yang harus dilakukan dengan cara berfikir bagaimana hasil penyelidikan ilmiah mengenai dakwah disajikan. Prosedur penyelenggaraan berfikir mengenai langkah-langkah yang harus ditempuh oleh ilmuwan dakwah yang berarti berfikir tentang metodologinya, dan bagaiman hasil dari langkah-langkah yang ditempuh itu disajikan, yang berarti berfikir mengenai sistematika pembahasannya.
Bentuk yang telah tersedia berhubungan dengan susunan logik dan sistematika penyajian dari hasil-hasil penyelidikan ilmiah mengenai dakwah yang melelahkan itu sering menutupi pergulatan dalam cara berfikir yang berliku-liku menyangkut prosedur dan analisisnya. Ada kecenderungan untuk memasukkan yang pertama ke dalam bidang penyelidikan filsafat ilmu dakwah dan yang kedua ke dalam bidang psikologi ilmu dakwah. Sistematika memang dapat dibedakan dari metodologi, tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan; hanya keduanya dapat dianalisis melalui pendekatan filosofis maupun psikologis.
Jika kita melakukan refleksi sebagaimana di atas maka penyelenggaraan ilmu dakwah, menyangkut keberadaan manusia dalam hubungannya denga peristiwa dakwah dapat dipahami bahwa manusia sebagai “aku yang sadar” (co gito)-nya Descartes, atau “aku transendental”-nya atau “noumen”-nya Kant dan Husserl, atau “das sein”-nya Heidegger, atau “exsistential”-nya Kierkegaard. Ini berarti bahwa cara peninjauan terhadap diri sendiri serta untuk memberikan pertangungjawaban terhadap diri sendiri berhubung dengan pengetahuannya terhadap peristiwa dakwah, secara khas dinamakan “cara ilmiah”. Artinya kegiatan manusia mengenai cara bagaimana ia berhubungan dengan peristiwa dakwah yang disebut sebgai hubungan “eksternal”, dan cara bagaimana ia mencerna di dalam pikirannya mengenai dakwah disebut “internal” yang kedua-duanya menentukan derajat keilmiahan ilmu dakwah.
Dalam suatu refleksi mengenai filsafat ilmu dakwah, maka filsafat ilmu dakwah itu masih dapat membedakan antara filsafat ilmu dakwah secara luas dengan filsafat ilmu dakwah secara terbatas. Dalam filsafat ilmu dakwah secra luas, ia menampung permasalahan yang menyangkut hubungan-hubungan ke luar dari kegiatan ilmiah. Seperti implikasi-implikasi ontologik-metafisik dari citra dakwah yang bersifat ilmiah, norma-norma yang menjadi pegangan penyelenggaraan keilmuan dakwah, konsekuensi-konsekuensi pragmatik-etik penyelenggaraan ilmu dakwah, dan sebagainya. Sedangkan filsafat ilmu dakwah secara terbatas menampung permasalahan yang bersangkutan dengan hubungan-hubungan ke dalam yang terdapat dalam ilmu dakwah, yaitu yang menyangkut sifat ilmiah dari pengetahuan dakwah dan cara-cara mengusahakan serta mencapai pengetahuan dakwah sebagai yang memiliki derajat pengetahuan ilmiah.
Situasi yang demikian ini, kita dapat menentukan kedudukan filsafat ilmu dakwah di bawah lingkungan filsafat ilmu pada umumnya. Tempat kedudukan tersebut di tentukan oleh dua lapangan penyelidikan filsafat ilmu dakwah; yakni “sifat ilmiah pada pengetahuan dakwah”, dan cara-cara mengusahakan mengetahui dakwah secara ilmiah”. Di dalam yang pertama filsafat ilmu dakwah berhubungan erat dengan filsafat pengetahuan dakwah atau epistemologi dakwah, yang secara umum berhubungan dengan syarat-syarat serta bentuk-bentuk pengetahuan manusia mengenai peristiwa dakwah, dan yang kedua; filsafat ilmu dakwah berhubungan dengan logika dan metodologi, dalam hal ini filsafat ilmu dakwah dijumbuhkan dengan metodologi penelitian dakwah.
Secara demikian ilmu yang lapangan kajiannya adalah budaya dan masyarakat Islam dalam suatu perspektif amar ma’ruf nahi munkar dengan pola dakwah ini sesungguhnya merupakan suatu kelompok ilmu khusus. Filsafat ilmu khusus, seperti filsafat ilmu dakwah ini membicarakan masalah susunan logik dan metodologi perlu dibedakan dengan ilmu-ilmu khusus yang lain. Misalnya dengan kelompok ilmu alam, ilmu bahasa, ilmu teknik, ilmu politik, ilmu hukum, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi, ilmu kepurbakalaan dan sebagainya. Namun demikian kategori-kategori maupun metode-metode yang digunakan di dalam ilmu alam dianggap sebagai pola yang mendasari bagi kelompok ilmu-ilmu yang lainnya. Perlu diingat bahwa masalah kesatuan, keragaman, dan hubungan di antara segenap ilmu sampai saat ini masih merupakan suatu persoalan yang memerlukan penegasan dalam kaitannya dengan masalah hubungan antara ilmu dan kenyataan, kesatuan, penjenjangan, serta susunan kenyataan dan sebagainya.
Kiranya perlu menunjukkan ciri khas yang dapat mengantarkan pemahaman mengenai sifat ilmiah serta penyelenggaraan ilmu dakwah.
Pertama; Ciri pengenal mengenai pengetahuan dakwah sebagai pengetahuan ilmiah ialah adanya anggapan bahwa pengetahuan dakwah tersebut berlaku secara umum. Tidak didasarkan pada kesan, subjektifitas, kesesuaian dengan ajaran politik atau agama tertentu. Dalam keilmuan dakwah kesulitan terletak pada subjektifitas yang lebih tertarik pada masalah tersebut dibanding dengan pembuktian objektif.
Kedua; terdapat suatu keadaan saling mempengaruhi antara sifat serta kadar pengetahuan ilmiah bidang pengetahuan dakwah di satu pihak, dengan sarana-sarana yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan dakwah. Ini berarti dalam perjalan sejarah ilmu dakwah akan terjadi pergeseran dalam isi pengertian “ilmiah” pada pengetahuan dakwah sebagai akibat masuknya pengaruh dari luar faktor ilmiah. Hanya, adanya faktor dari luar jangan sampai menghentikan keotonomian atau kedaulatan diri dalam usaha memperkembangkan norma-norma ilmiah bagi keilmuan dakwah sendiri. Artinya pertimbangan-pertimbangan keilmuan dakwah hanya melulu pada pertimbangan evidensi dakwah. Bukan pada panorama etik-keagamaan, kemanfaatan bagi rakyat, keuntungan ekonomi, untuk dukungan politik, dan sebagainya.
Ketiga; ilmu dakwah dipandang sebagai bagian integral dari kebudayaan dan masyarakat. Sesungguhnya tidak ada pendirian yang menganut paham “ilmu demi ilmu” atau ilmu diusahakan semata-mata untuk dirinya sendiri. Suatu kenyataan bahwa ilmu dakwah telah jalin menjalin dengan masyarakat dan membawa akibat-akibat di dalam masyarakat. Demikianlah keadaan ilmu dakwah yang sering kabur untuk memisahkan suatu penyelenggaraan ilmiahnya, antara penyelidikan ilmiah murni dengan penyelidikan ilmiah terapan.
Oleh karena apa yang kita bicarakan dalam filsafat ilmu dakwah ini dimaksudkan sebagai berbicara mengenai penyelidikan peristiwa dakwah dengan pendekatan ilmiah murni, maka ciri-ciri ilmu dakwah selain sebagaimana tersebut di atas, juga memiliki ciri-ciri sebagaimana penyelidikan-penyelidikan ilmiah murni sebagaimana ilmu-ilmu murni pada umumnya. Pertanyaannya adalah; apakah yang dimaksud dengan kata ilmiah yang melekat pada ungkapan “pengetahuan serta cara-cara kerja ilmiah?”. Terhadap pertanyaan itu dapatlah diberikan jawaban bahwa; pengetahuan ilmiah merupakan pengetahuan yang memiliki dasar-dasar pembenaran, bersifat sistematik, dan bersifat intersubjektif. Dan ada saling hubungan antar ketiga macam ciri pengenal itu.
Pengetahuan ilmiah dikatakan memiliki dasar-dasar pembenaran karena pengaturan cara kerja ilmiah diarahkan memperoleh derajat kepastian yang sebesar mungkin. Pernyataan-pernyataan harus dapat didasarkan atas pemahaman yang dapat dibenarkan secara a priori dan didasarkan pula atas hasil-hasil tangkapan empirik yang dikaji secara ilmiah secukupnya.
Pengetahuan ilmiah bersifat sistematik; hendaknya terdapat sistem di dalam pengetahuan dan di dalam cara memperoleh pengetahuan. Penyelidikan ilmiah tidak cukup hanya mendasarkan pada satu keterangan, melainkan senantiasa meletakkan hubungan antara sejumlah bahan keterangan, dan berusaha hubungan-hubungan tersebut merupakan suatu kebulatan. Memperhubungan dengan jalan melakukan komparasi, subsumasi, dan generalisasi diusahakan untuk sedapat mungkin meletakkan hubungan yang bersifat sistematik secara horizontal di atas berbagai bidang penyelidikan, isi pengetahuan, serta lapangan objek. Hubungan secara vertikal diusahakan dengan jalan mempertemukan seruntut mungkin berbagai langkah penyelidikan ilmiah.
Sifat intersubjektif pengetahuan ilmiah berhubungan dengan dua cirinya yang telah disebut. Namun kepastian pengetahuan ilmiah tidak hanya didasarkan atas intuisi-intuisi serta pemahaman-pemahaman orang seorang yang bersifat subyektif, melainkan dijamin oleh sistem itu sendiri. Penyelenggara ilmu memang tetap harus ada, tetapi hendaknya sedapat mungkin agar dapat digantikan kedudukannya oleh orang lain.
Dengan melepaskan penyelenggaraan ilmu dakwah dari subjek orang-per-orang, dimaksudkan agar pengetahuan ilmiah mengenai dakwah memperoleh sifat yang umum. Pengetahuan ilmiah mengenai dakwah memang harus dilakukan dan disajikan sedemikian rupa sehingga di dalam setiap bagiannya dan di dalam hubungan yang menyeluruh, dapat ditanggapi oleh para ilmuwan lain yang sama keahliannya. Ini berarti terhadap hasil-hasil penyelidikan ilmiah, harus dimungkinkan adanya kesepakatan yang bersifat intersubjektif.
2. Tujuan Penyelidikan Ilmu Dakwah
Filosof ilmu dakwah dapat melihat mekanisme kerja para ilmuwan dakwah untuk mematangkan pengetahuan dakwah secara ilmiah yang dapat memenuhi standard ilmiah sebagaimana ilmu-ilmu pada umumnya. Upaya ilmuwan dakwah itu merupakan cara untuk dapat merumuskan tujuan penyelidikan ilmiah. Dalam sejumlah persoalan tertentu, ilmuwan dakwah ada yang merasa puas bila dapat menetapkan bagaimana suatu peristiwa dakwah berlangsung. Misalnya dalam bentuk bagaimana revolusi keagamaan (baca Islam) pada masa Rasulullah, atau bagaimana suatu keyakinan Islam masuk di Eropa (melalui pedang) berbeda dengan keyakinan Islam masuk Asia (melali perdamaian). Apakah bentuk dakwah Wali-Songo sebagai akuisisi tradisi, atau sebagai kontra tradisi? Bagaimana suatu asimilasi antara nilai-nilai ajaran Islam dengan tradisi lokal dapat terjadi? Bila keterbukaan tradisi nusantara dianggap sebagai fakta, bagaimanakah dakwah berlangsung? Bagaimana hubungan antara da’i dan mad’u? bagaimana hubungan antara pesan dakwah, metode dakwah dengan media dakwah? Hubungan-hubungan apa yang terjadi antara da’i, pesan dakwah, metode dakwah, media dakwah, dan mad’u? Kebiasaan-kebiasaan dakwah apa yang menyangkut perkawinan, tingkeban, kelahiran, khitanan, dan kematian? Penyelidikan semacam ini berarti gejala-gejala dakwah dicatat dalam keadaannya yang saling berhubungan, maka penyelidikan semacam ini dikatakan sebagai penyelidikan deskriptif; suatu penyelidikan dengan tujuan ingin menetapkan bagaimana keadaan dakwah secara tepat.
Deskripsi mengenai dakwah yang disusun ilmuwan dakwah itu menunjukkan bahwa ilmuwan dakwah ingin membawa ilmu dakwah kepada kemajuan dengan mempertanyakan mengapa terjadi dakwah dengan pedang di Eropa dan dengan perdamaian di Asia? Mengapa dakwah wali-songo dengan pendekatan akulturasi? Mengapa pola dakwah berbeda dengan pola pendidikan, pengadilan, dan kepolisian? Mengapa upacara-upacara tradisional lebih diisi dengan nilai-nilai ajaran Islam? Penyelidikan semacam ini; berari ilmuwan dakwah bertujuan ingin menjaga agar penjelasan-penjelasan ilmiah tentang dakwah tidak menjadi penjelasan terakhir atau yang terakhir dan tidak dapat berubah lagi. Maka penyelidikan semacam ini dinamakan penyelidikan exspilative. Penjelasan-penjelasan ilmiah tentang dakwah seperti di atas, tetap merupakan penjelasan yang bersifat sementara dan siap untuk diperluas, diperdalam, dipertajam, diperbaiki, dan bahkan diganti.
Pertanyaan selanjutnya ialah penjelasan ilmiah mana yang dapat memberikan perasaan puas? Apakah ilmu dakwah hanya akan menjelaskan peristiwa-peristiwa dakwah yang terkenal? Atau memperjelas suatu peristiwa dakwah yang tidak terkenal menjadi lebih terkenal? Penjelasan memuaskan yang diminta oleh filosof dakwah kepada ilmuwan dakwah adalah suatu penjelasan yang harus didasarkan atas suatu analogi atau mekanisme yang dapat dibayangkan.
Baik deskripsi maupun ekspilasi ilmu dakwah, dapat berakhir dengan perumusan hukum-hukum umum seperti yang terjadi pada pelbagai bidang, seperti pada bidang ilmu alam, ilmu masyarakat, ilmu bahasa. Misalnya ilmuwan dakwah menjelaskan gejala dakwah melalui hukum grafitasi. Daya tarik apakah yang dimiliki oleh da’i sehingga banyak mad’u tertarik dan fanatik kepadanya? Atau gejala dakwah dapat dijelaskan dengan hukum indeterminisme. Mengapa seseorang yang setiap saat mendengarkan atau membaca pesan dakwah, tetapi dalam perilaku ekonomi atau perilaku politiknya tidak mencerminkan nilai-nilai ajaran Islam? Ilmuwan-ilmuwan dakwah juga dapat menjelaskan hukum-hukum gejala dakwah melalui penjelasan analogis dengan hukum determisme (kondisi mad’u ditentukan oleh lingkungan) dan fatalisme (suatu keadaan di mana mad’u tunduk pada ketentuan Allah), atau penjelasan-penjelasan melalui hukum evolusi. Suatu penjelasan ilmiah mengenai dakwah yang dimulai dari masyarakat yang mati (tidak ada aktivitas Islami dalam masyarakat itu) dapat berubah menjadi masyarakat Islami.
Ilmuwan dakwah juga dapat mengambil penjelasan dakwah melalui hukum-hukum kemasyarakatan, atau norma-norma yang berlaku pada masyarakat tertentu. Norma pada masyarakat petani berbeda dengan norma pada masyarakat industri. Norma yang berkembang pada masyarakat NU berbeda dengan norma pada masyarakat Muhammadiyah dan seterusnya. Bahwa norma atau tradisi pada masyarakat tertentu akan menciptakan pelaksanaan maupun pesan dakwah, atau metode dakwah, atau media dakwah yang berbeda. Demikian pula mengenai hukum-hukum bahasa yang berakar atas budaya, tradisi, dan norma.
Akibat dari penjelasan ilmuwan mengenai gejala dakwah menggunakan analogi hukum atau mekanis dapat memberikan kemungkinan untuk dalam keadaan tertentu ilmu dakwah bermaksud meramalkan (prediction) gejala-gejala apa yang terjadi dalam suatu masyarakat tertentu. Kadang-kadang prediction juga merupakan tujuan dari ilmu dakwah. Sekalipun peramalan bukan merupakan tujuan pokok, namun peramalan merupakan akibat dari hasil penyelidikan yang bersifat dekriptif maupun ekspilatif. Filsuf dakwah dapat mengakui bahwa ramalan-ramalan ilmiah mengenai dakwah itu dapat memainkan peranan yang pokok dalam penyelidikan mengenai kebenaran keajegan-keajegan dakwah yang dianggap terjadi.
Akibat kedua dari ditemukannya suatu keajegan-keajegan dakwah yang berlangsung dalam suatu masyarakat tertentu ialah adanya kemungkinan untuk mengawasi (control) secara ilmiah terhadap kelompok gejala yang sejenis. Hanya saja ada kesulitan-kesulitan dari segi etis bagi ilmuwan untuk melakukukan pengawasan terhadap pelaksanaan dakwah yang dilakukan oleh da’i dalam suatu masyarakat tertentu, namun betapapun demikian, hasil penyelidikan ilmiah tersebut merupakan sumber yang kaya terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dakwah.
Di dalam penyelidikan mengenai dakwah, peneliti terkadang juga ingin menetapkan makna terhadap suatu gejala dakwah yang berlangsung. Penetapan makna terhadap suatu gejala dakwah yang berlangsung ini berarti ilmuwan dakwah bertujuan interpretative. Atau dapat dikatakan bahwa penyelidikan interpretatif merupakan penyelidikan untuk menetapkan makna yang dikandung oleh gejala-gejala dakwah yang diselidiki. Misalnya tahlilan dalam upacara kematian dianggap sebagai asimilasi budaya lokal dengan dakwah Islamiah dan dipertahankan kelestariannya di dalam masyarakt, terutama dipelopori oleh kelompok NU. Tetapi valentin sebagai budaya Barat sulit diadopsi oleh Islam.

BAB XIV

PENELITIAN KUANTITATIF

DAN PENELITIAN KUALITATIF

A. Penelitian Kuantitatif

Riset eksperimen dan survei merupakan dua metode penelitian kuantitatif. Dua metode tersebut pernah mengalami kejayaan di panggung sejarah penelitian utamanya antara 1950-1960 sempat menggeser penelitian kualitatif rintisan Malinowski atau Elton Mayo[1].Eksperimen dan survei adalah riset hypothesis testing (uji hipotesis.). William C. Levin membedakan dua bentuk hipotesis; descriptive hiphotesis, lazim dipakai dalam riset survei, sedangkan eksperimen menggunakan causal hiphotesis[2]. Survei sering menggunakan sample sebagai representasi dari populasi sementara eksperimen menggunakan variable; dependen, independen dan variable kontrol. Eksperimen dan survei sebagai riset kuantitatif dapat dibaca juga dalam tulisan Earl Babbie, Geoffrey Keppel, Morton Arkava dan Thomas A. Lane.

Clifford menyatakan bahwa riset eksperimen punya sejarah yang lama dan kaya karena digunakan oleh berbagai disiplin, obat-obatan, pertanian dan psikologi. adalah Ronald A. Fischer, figur yang disebut sebagai bapak riset eksperimen untuk disiplin ilmu-ilmu social (social scienes) karena karya-karyanya yang muncul pada awal-awal abad 20. Karyanya diterbitkan mulai 1925, 26 dan 35. Figur lain dengan disiplin berbeda adalah Mc Call dengan karya tulisnya dalam disiplin pendidikan. Dalam perkembangannya, beberapa sarjana lain menggunakan karya Mc Call untuk riset biologi, obat-obatan. Namun harus diakui bahwa tidak semua disiplin dikaitkan dengan riset eksperimental[3].

1. Riset eksperimen

Jika kita memperhatikan lebih seksama tulisan Clifford J. Drew, maka secara implisit tulisannya tersebut memberikan penjelasan tentang ciri-ciri riset eksperimen. Ciri-ciri riset eksperimen sbb,

a. Riset eksperimen selalu dikaitkan dengan laboratorium; sebuah sarana untuk melakukan eksperimen. Dengan laboratorium, peneliti dapat melakukan kontrol secara tepat tentang ada ataukah tidak ada pengaruh luar yang bisa merusak hasil uji eksperimen. Jika kontrol ini berjalan dengan sempurna (bahwa diyakini tidak ada pengaruh luar yang mengganggu) maka perubahan yang terjadi melalui uji eksperimen diyakini hanya disebabkan oleh satu variable yang sejak dini disiapkan peneliti. Karena hanya membatasi diri pada uji satu variable, maka riset jenis ini bersifat manipulatif.

b. Dengan riset eksperimen, peneliti secara jelas dapat dipastikan bahwa hanya ada satu variabel dan satu variabel ini menjadi fokus riset eksperimen.

c. Riset eksperimen adalah sebuah penelitian di mana peneliti sejak awal telah melakukan manipulasi dengan hanya menetapkan satu faktor sebagai variabel[4].

Di bawah ini penulis menyajikan satu contoh riset eksperimen tentang pengaruh jenis pupuk tertentu; katakanlah pupuk “z”. Melalui riset eksperimen, peneliti bermaksud mengetahui pengaruh pupuk “z” terhadap kesuburan tanah. Pupuk z adalah satu-satunya faktor atau satu variable.

Langkah awal penelitian adalah membersihkan tanah dari jenis pupuk yang lain. mengapa tanah harus dibersihkan dari semua jenis pupuk?. Karena peneliti hanya akan melihat Peneliti memastikan bahwa tidak ada pupuk jenis lain dalam tanah itu.

d. Peneliti juga menyiapkan sebidang tanah yang tidak dibersihkan dari jenis pupuk lainnya dan ini bertindak sebagai varabel kontrol.

Ciri keempat- tetap terkait dengan ciri-ciri di atas, Dengan hanya membatasi pada satu faktor saja peneliti telah melakukan manipulasi data. Langkah selanjutnya, peneliti mengamati perubahan yang terjadi pada tanah yang menjadi obyek eksperimen. Untuk mengetahui pengaruh pupuk maka dia menanam kedelai. Selanjutnya, dia dapat mengamati perubahan-perubahannya secara berkala.terhadap tanah yang dibersihkan dari semua jenis pupuk selain hanya ada satu jenis pupuk saja dan tanah yang menjadi variabel control. Variabel kontrol adalah sebidang tanah yang di dalamnya telah ada beberapa jenis pupuk dan kemudian dimasukkan jenis pupuk z juga.

Riset eksperimen baik untuk ilmu kealaman maupun ilmu-ilmu sosial meliputi 3 komponen, yakni;

1) variable dependen dan independent,

2) Pre testing dan post testing

3) eksperimental atau jenis treatmen dan variable kontrol[5].

Babbie memberi beberapa contoh riset eksperimen sosial, Satu di antara contoh adalah riset tentang sikap buruk sangka (prejudise) terhadap etnis Afrika yang tinggal USA.

Langkah-langkah riset;

Pertama, peneliti menentukan grup kecil yang akan menjadi obyek eksperimen untuk memastikan sikap buruk sangka mereka terhadap etnis Afrika yang tinggal di Amerika.

Kedua, Peneliti melakukan ekspose sejarah etnis Afrika dan sumbangsih mereka terhadap Amerika. Ekpose (paparan) dapat melalui film dokumenter atau melalui dialog dan paparan lainnya. Dalam hal ini, Babbie hanya memberi contoh pemutaran film tentang etnis Afrika-Amerika.

Ketiga, Peneliti mengukur perubahan yang terjadi pada grup eksperimen untuk menentukan apakah sikap buruk sangka mereka berkurang. Untuk mengetahuinya, maka sikap ini dibandingkan dengan sikap para individu yang ditempatkan sebagai grup control. Kelompk control ini dihuni oleh para individu yang dipastikan bahwa mereka tidak memiliki sikap buruk sangka sama sekali terhadap etnis Afrika-Amerika.

Dari contoh tersebut, Babbie menjelaskan 3 komponen riset sbb,

a) Independen variabel adalah paparan tentang sumbangsih atau peran etnis Afrika bagi Amerika dalam kemajuan bidang sains, keartisan, sport

b) Variable dependen adalah sikap buruk sangka, dapat seseorang atau beberapa orang.

c) Hipotesis; kurangnya pengetahuan mereka terhadap peran dan sumbangsih etnis Afrika kepada negara. Hipotesis ini kini diuji melalui riset eksperimen. Riset eksperimen – karena itu- disebut dengan testing hipotesis.

Secara esesnsial, riset eksperiemn adalah menguji efek dari variable independent (bahwa paparan etnis Afrika menjadi faktor penyebab menurunnya sikap buruk sangka. Secara tipikal dapat dinyatakan bahwa variable independent merupakan sebuah stimulus eksperimental. Hasil atau perubahan yang dihasilkan diukur dengan bantuan varabel control (diwakili satu grup yang berisi para subyek yang tidak memiliki sikap buruk sangka kepada etnis Afrika-Amerika.

Babbie juga memberi beberapa contoh lain, Di sini penulis turunkan satu contoh lagi riset eksperimen. Riset ini berangkat dari hipotesis; Bahwa , satu grup yang secara pasti ditengarai sebagai grup yang karakternya “lebih baik” karena mereka paling tidak sering melakukan perubahan; selanjutnya adalah grup yang ditengarai punya karakter “ada kemungkinan lebih baik”, selanjutnya adalah “grup kontrol”, selanjutnya grup yang lebih atau yang paling jelek. Grup yang terakir ini adalah grup yang mudah berubah-ubah. Kepada setiap grup ini dipaparkan beberapa jenis produk (Hp misalnya, lengkap dengan segela kelebihannya. Grup kontrol adalah grup yang memiliki tingkat kemantapan pilihan dan tidak berubah). Hipotesisnya; makin mudah sebuah grup mengubah putusan makin jelek karakternya, Makin tidak pernah mengubah pilihan menunjukkan sebuah grup itu terbaik dibanding lainnya. Hipotesis ini lalu diuji melalui riset eksperimen.

Reseachers hypothesized that the definitely better group would switch least aften, followed by the probabley better group, followed by the control group, followed by the definitely worse group”.

Contoh lain:

Ditengarai ada kelompok (klien) yang melakukan kekerasan terhadap anak. Hipotesis yang akan diuji, tindak kekerasan terhadap anak dapat dikurangi melalui suatu program layanan social. Peneliti mencari orang-orang pekerja social dan diwadahi dalam satu kelompok serta diberi training dengan berbagai teknik, metode dan orientasi yang nantinya akan diberi tugas melakukan treatmen terhadap para klien. Setelah melalui berkali-kali training, lalu dilakukan ujian post test untuk memastikan bahwa ketrampilan para pekerja sosial telah meningkat secara siginifikan dibanding dari sebelumnya. Dengan menugaskan para pekerja ini untuk melakukan treatmen terhadap para klien diharapkan ada perubahan sikap para klien terhadap para anak.

Dalam riset eksperiemn, peneliti melakukan satu manipulasi variable independen untuk menentukan apakah manipulasi ini menjadi penyebab terhadap hasil (yakni terjadi perubahan disebabkan oleh variable independent). Peneliti melakukan test sebab-akibat sebab, secara teoritis, variable-variabel antara independen dan hasil yang diperoleh, dalam riset eksperimen, harus dikontrol[6]. Dari uraian ringkas di atas dapat dinyatakan bahwa sifat manipulatif memang karakter riset eksperimen.

2. Riset Survei

Secara tipikal, survei digunakan untuk mengumpulkan fakta dan gambaran keadaan mengenai situasi tertentu. Metode ini dinamakan juga dengan penelitian deskriptif yang berupaya mendeskripsikan kondisi-kondisi atau keadaan sesuatu; dan jika dipandang mungkin menarik kesimpulan secara umum dari fakta yang ditemukan[7].

Survei deskriptif umumnya memfokuskan pada mengumpulkan opini serta karakteristik obyek penelitian.. Namun Survei yang bersifat deskriptif dapat dijadikan metode evaluasi, misalnya oleh pengusaha yang bertujuan mengevaluasi respons masyarakat terhadap produk tertentu atau oleh pemerintah untuk mengevaluasi kinerja, program atau kebijakan pemerintah melalui uji hipotesis[8] Survei evaluatif sering menggunakan metode praktis, yakni uji hipotesis guna mengukur dan mengetahui secara pasti respons masyarakat terhadap kebijakan dana pendidikan dua puluh persen dari anggaran belanja pemerintah. Mungkin hipotesis yang akan diuji, rendahnya mutu pendidikan dipengaruhi oleh rendahnya anggaran untuknya. Peneliti mengambil sample dari populasi penduduk.

Survei juga digunakan untuk menemukan dan memastikn adanya hubungan antara fenomena yang berbeda. Sebuah lembaga Amerika, American Cancer Society mengadakan survei yang tujuannya menemukan apakah merokok merupakan penyebab kanker paru-paru. Pada tahun 1952, lembaga ini mensurvei 20.000 orang yang terbiasa merokok. Survei semacam ini berkelanjutan. Pada tahun 1954 lembaga ini melakukan survey kanker akibat merokok dengan fenomena kematian. Hasilnya dilaporkan, bahwa 4.5 persen dari jumlah perokok yang telah disurvei sebelumnya meninggal dunia akibat kanker paru-paru. Namun, suervei ini belum final, demikian Hillway, karena beberapa factor lainnya tidak masuk dalam survei lembaga tersebu; masih perlu pnelitian yang cermat lagi[9].

Le Play melakukan suatu survei yang berkesimpulan bahwa ada hubungan antara keadan ekonomi keluarga dengan tingkat emosi dan kesuksesan sosial. Seorang penerus Le Play, Charles Booth, megadakan suvei yang bertujuan memotret kondisi kehidupan yang sebenarnya dari keluarga miskin. Fenomena sesungguhnya dari kondisi miskin ini dikaitkan dengan perlunya pemberian bantuan ekonomi apa yang tepat bagi mereka yang keadaan ekonominya tertekan. B.S. Rowntree melakukan survei yang bersifat membandingkan status para pekerja di pedesaan dengan para pekerja di kota-kota besar[10].

Pada awal-awal abad 20, ada gejala metode survei mengalami peningkatan secara pesat, utamanya, pada riset ekonomi dan penelitian sosial. Di samping itu ditengarai lahirnya beberapa lembaga riset survei maupun eksperimen. Di New York ada The Experiment Bureau of Munipal Researrch (1896), Russell Sage Foundation for Social improvement lahir tahun 1907, Dua tahun berikutnya, sebuah survei perkotaan untuk pertama kalinya dikerjakan di Pittburgh oleh Paul Kellogg. Kota-kota lainnya tidak mau ketinggalan seperti suervei perkotaan Springfield, Illinois dan gerakan melakukan survey ini terus berlanjut sampai mencapai puncaknya tahun 1928 ketika hamper 3000 survei dikerjakan dibawah sponsor New York Regional Planning Commission. Kemudian menyusul survei tentang tindak kriminal dan pelanggaran hukum yang pertama-tama di wilayah Missouri dilakukan oleh para hakim Missouri. Lalu survei yang dilakukan oleh satu lembaga “Wickersham Commission tentang hal ihwal yang berkaitan dengan hukum di bawah sponsor pemerintah federal[11].

Survei Pendidikan[12].

Periode antara Perang Dunia 1 dan 2 merupakan perkembangan yang sangat pesat penggunaan survei pendidikan. Hasil dari riset ini tentu saja bukan memecahkan problema endidikan tetapi masih seperti model deskriptif-deskriptif sebelumnya yang menggambarkan kondisi pendidikan di Amerika. Metode yang ditempuh, mengumpulkan berbagai ide dan opini lalu ditegaskan bahwa kondisi pendidikan kita amat memerlukan perubahan dan perbaikan.

Dari uraian singkat tentang eksperimen dan survei aa sejumlah masalah social yang tersisa dan belum tergarap olehkeduanya dan memang dalam watak ontologisnya berada di luar jangkaun dua metode di atas.

a. Bagaimana sebuah masyarakat terorganisir secara menyeluruh atau secra holistic, sebuah istilah yang pernah dipakai sebelum digeser atau tergantikanoleh teori fungsionalisme

b. Apa unsure-unsur di dalamnya dan bagaimana unsure-unsur atau unit-nit itu berhubungan,

c. Bagaimana struktur masyarakat sekarang sesudah revolusi industri dibanding struktur di masa lalu sebelum terjadi revolusi industri?

d. bagaimana social force masyarakat dapat dijelaskan?

e. Setiap struktur pasti memiliki structural properties; bagaimana halini dapat dijelaskan?

f. Apakah ada fungsi laten lebih dominant dari fungsi manifes, dstnya.

Pertanyan-peranyaan di atas merupakan contoh watak ontologis obyek menarik untuk diteliti tetapi tidak dengan kunatitatif metode eksperimen dan survey.

B. Penelitian Kualitatif

Istilah pendekatan, “approach” penulis pinjam dari judul tulisan Creswell, “Qualitative & Qualitative Approach”. Istilah pendekatan juga digunakan William C. Levin dalam karyanya, Sociological Ideas”, sementara Renata Tesch dalam “Qualitative Research, Aanalysis Types and Softwarwe Tools”, menggunakan istilah riset dan membagi menjadi riset kuantitatif an riset kualitatif.

Sebelum istilah “kualitatif” dipakai secara umum, demikian tulis Renata dalam satu bab bertitel “ Qualitative Research in Sociology”, bahwa para ilmuwan sosiologi yang tidak memiliki interes terhadap riset eksperimen dan survei yang kuantitatif menyebut aktivitas yang mereka lakukan adalah “fieldwork” dan jika ditanya tentang label pendekatannya, mereka menjawab, “antropologi”. Kebanyakan para peneliti ini tergabung dalam apa yang dikenal dengan “Chicago School” (mungkin berarti “madzhab Chicago). Chicago adalah Universitas pertama di Amerika yang memiliki jurusan Sosiologi meski belum seperti pengertian saat ini. Sosiologi Amerika banyak dipengaruhi oleh antropologi sosial Inggris. Jurusan sosiologi saat itu disebut dengan “jurusan ilmu sosial dan antropologi. Figur yang menjadi sentral adalah Robert Park.

Salah satu contoh klasik penelitin dengan label fieldwork adalah apa yang dilakukan oleh Bronislaw Kasper Malinowski (1884-1942), mahasiswa Jagellonian dan LSE (London School of Economics tahun 1910-1916. Pada 1921 dia diangkat sebagai dosen tamu di perguruan itu. Tahun 1922 meraih gelar doktor kemudian diberi jabatan sebagai ketua jurusan antropologi sosial tahun 1927. Dia mengampu mata kuliah agama primitif (primitive religion), dan diferensiasi sosial serta psikologi social. Data lain menyebutkan bahwa sebelm masuk LSE dia telah menekuni matmeatika, fisika dan filsafat di Universitas Jagellonian. Dan meraih gelar doctor bidang filsafat di Unversitas ini. Setelah itu dia meninggalkan tempat kelahirannya, Krakow, Polandia untuk masuk ke LSE. Di sini dia mempelajari antropolgi.. Karena itu dia dikenal sebagai ahli antropologi Inggris sekaligus sebagai salah satu ilmuwan yang membangun teori fungsionalisme di dalam ilmu-ilmu sosial “the founders of functionalism in the social sciences”, Pendekatan terhadap antropologi didasarkan pada fungsionalisme dan budaya. Fungsionalisme menjelaskan makna, fungsi serta maksud yang ada pada elemen-elemen di dalam satu sistem keseluruhan; “functionalism ascribes meaning, function, and purpose to the elements within a whole. Culture defines that whole and it constitutes the entity in which the various functional elements act and are interdependent[13]. Sebagian pendapat mneyebut bahwa dia adalah pendiri madhzhab fungsionalisme di dalam antropologi sosial, atau sebagai bapak antropologi sosial.

Selama ekspedisi di pulau Trobriand tahun 1915-1918, dia menciptakan model baru yang bersifat revolusioner dan berstandard modern tentang “kerja lapangan etnografi (ethnographic fieldwork) melalui cara participant observation; yakni sebuah proses di mana dia telibat dalam kehidupan masyarakat yang diteliti dengan jalan hidup bersama di dalam lingkungan mereka dan mengkaji bahasa dan kebudayaan mereka[14].

Percy S. Cohen dalam bukunya mengungkap pokok-pokok teori fungsionalisme Malinowski mencakup awal munculnya formulasi, ide dasar, dan asumsi

1. Tentang awal formulasi

His first formulation of the functionslist doctrine appeared after he had carried out ethnographic fieldwork amongst the Australian Aborigin and Trobrian island.

(Awal rumusnnya tentang teori fungsionalisme muncul setelah dia melakukan penelitian fieldwork etnografi di suku Aborijin Australia dan di pulau Trobriand).

2. Tentang ide dasar

The fundamental idea is; if one wishes to understand a particular culture item, one does so by referring. to some general principle of human conduct and some other items in the same society which provide the context within which the particular item occure. For example, if one wishes to explain. For example, why a Trobriand man makes payment in kind to his sister's husband[15].

(Ide dasarnya adalah, jika seseorang ingin memahami item budaya tertenu, maka dia harus merujuk kepada beberapa prinsip umum tingkah laku dan beberapa item lainnya yang khas yang hidup di dalam masyarakat tersebut. Contoh, mengapa lelaki suku Trabrian memberi tali asih kepada saudari suaminya).

3. Asumsi

All men have certain primary need for food, shelter, sexual, protection etc. They meet these by devising techniques for growing, finding and distributing food, erecting dwelling establishing relations and banding together. For satisfying these needs creates secondary needs; language; norm, the need to control conflict and promote cooperation given rise to norms of reciprocity and social sanction. The satisfaction of these secondary needs given rise the need for coordinative institution, the need for rules of succession, the mechanism of legitmation of authorit…, the need for developing the skill and intellectual capacity through education... The need for any cultural item is as much as a consequence of its existence .

He insists that every cultural item must have function, that is, it exists because it meets some present need [16] .

(semua manusia memiliki kebutuhan primer, Mereka memenuhi kebutuhan ini dengan bertani, mencari penghasilan, dan mendistribusikan hasil panen, tempat tinggal, membangun relasi dan kebersamaan. Untuk memenuhi kebutuhan ini mereka ciptakan kebutuhan sekunder; nahasa unuk komunikasi, aturan-aturan dan norma Untuk mengontrol konflik dan memantapkan kebersaman dibutuhkan adanya institusi; adanya insttusimelahirkankebutuhan perla adanya aturan-aturan suksesi,mekanisme yang legitimate tentang otoritas dstnya…. Dia menegaskan bahwa setiap item budaya memiliki fungsi. Item budaya itu eksis karena ia memenuhi kebutuhan yang ada)

Dalam melakukan fieldwork – yang kemudian diokenal menjadi penellitian kualitatif-, di pulau Trobiand, melalui observasi partisipan, Malinoswki berupaya memahami cara hidup penduduk pulau itu secara fungsional, yakni bagaimana mereka berkreasi dan mempertahankan masyarakat mereka. Setelah mengurai secukupnya, Clifford menegaskan, Qualitative method rooted in anthropology[17]; akar metode kualitatif dari antropologi.

Era kejayaan Chicago school antara 1930-1950. Kemudian sempat menurun sebelum bangkit lagi pada era 1960-an. Pada masa ini pun juga ditengarai ada dua kelompok yang punya orientasi yangberbeda; yakni kelompok “small group studies” dan yang lainnya adalah “large community survey”. Namun ada gejala yang lebih penting, yakni terjadi perubahan di dalam internal komunitas ilmuwan untuk memberi perhatian terhadap epistemologi.

Setelah 1960 an, arah riset – dalam hal ini- riset kualitatif mengalami perkembangan kemapanan. Selain konstruk “grounded theory”, yang diperdebatkan, dan secara definitif tidak memiliki tingkat penjelasan yang gamblang, arah riset adalah, etnometodologi, interaksi simbolik dan etnografi holistik. Di Amerika, etnografi berkembang menjadi struktural etnografi dan etnoscience (atau etnografi kognitif)[18].

Arah penelitian sosiologi yang lebih cenderung ke kualitatif dapat kita tangkap dari uraian Arthur J. Vidich dan Stanford M. Lyman. Dalam “ Qualitative Methods, Their History in Sociology and Anthropology”.

Misi sosiologi modern, menurut mereka adalah menganalisis dan memahami:

a. pola-pola tingkah laku dan proses sosial yang terjadi dalam masyarakat.

b. nilai-nilai dan sikap-pandang yang menjadi fondasi bagi kehidupan sosial[19]. Setelah membuat penjelasan misi sosiologi secukupnya, mereka menekankan perlnya satu poin yang membedakan antara (cara kerja) para sosiolog yang ilmiah (scientific sociologists) dengan para novelis, puitis dan para artis[20]. Untuk Memenuhi missi ini, sosiolog seharusnya,

1) Mampu memahami dan menjelaskan kontekstual antara dunia sosial dengan pengalaman dirinya (utamanya pengalaman ilmiah) serta punya kapasitas memproyeksikan konseptualisasi yang bersifat meta-empirik ( teoritis) tentang kehidupan dan institusi sosial. Meta empirik sepadan dengan konsep meta fisika. Benda-benda fisika mudah dipahami oleh orang awam sekalipun karena ia memang kasat mata. Buah papaya, buah mangga adalah fisik; rasnya manis; semua orang awam mengenal dan memahami hal-hal fisik itu. Akan tetapi mereka tidak mengetahui unsur-unsur kimiawi dan atau kandungan gizi yang ada dalam buah pepaya. Matahari di setiap hari terbit dari timur dan tenggelam di bbarat. Keadaan ini diketahui oleh semua orang awam. Benda-benda angkasa lainnya adalah bulan dan bintang. Orang awam mengenaliini semua. Tetapi ilmuwanlah yang menemukan teori grafitasi, menemukan hukum edar benda-benda angkasa berputar mengitasi pusatnya dalam bentuk bulat telur. Semua teori ilmiah adalah sesuatu yang berada di balik fisik, teori adalah metafisik. Kegunakaan teori untukmempermudah komunikasi dalam masyarakat ilmiah. Air adalah H2 O. Jelas ini sesuatu yang amat metafisik. Secara fisik air adalahbenda cair yang mengalir. Dalam makna yang sama dapat juga dikatakan bahwa teori adalah meta empirik.

2. Mampu melepaskan diri dari nilai-nilai dan interes-interes tertentu guna mencapai level pemahaman yang tidak a priori.

3. Secara personal dan sosial dapat mengambil jarak dari norma-norma yang berlaku (dalam masyarakat obyek penelitian) supaya dapat menganalisis secara obyektif[21].

Pola-pola tingkah laku sosial diperoleh melalui observasi empirik tentang interaksi sosial. Pola-pola itu antara lain integrasi dan disintegrasi, Pola integrasi dapat dipilah menjadi integrasi fungsional, professional, normative, institusinal, komunikatif, kultural. Integrasi fungsional (misal, seorang guru memenuhi fungsinya mengajar siswa dengan berbagai metode teknik baik dalam in class interaction maupun out class. Integrasi professional (seseorang masuk menjadi karyawan lembaga tertentu, integrasi normatif (seorang guru atau karyawan memenuhi norma yang ditetapkan lembaga (secara normatif, guru mengajar dalam satu semester 16 kali tatap muka, integrasi institusi (masuk menjadi anggota organisasi sosial atau partai politik. Integrasi komunikatif atau pola exchange semisal saling tukar menukar ide atau konsep, tukar menukar barang atau jasa melalui suatu dialog, silaturahmi, berkunjung ke teman atau sejawat. Lazimnya, dalam integrasi komunikatif, seseorang memiliki ide atau konsep yang akan dibicarakan dengan kenalannya. Makin banyak seseorang punya ide makin pintar dia berkomunikasi sosial. Dalam arti ini, integrasi komunikatif sama dengan interaksi atau relasi sosial; atau sebuah proses reproduksi sosial. Kontak sosial dan kerja sama sosial juag merupakan bentuk integrasi sosial. Dalam lembaga yang terstandard.

Integrasi kultural semisal selalu berupaya memahami dan menyesuaikan diri dengan perkembangan budaya; missal, pendidik siap mengoperasionalkan komputer sebagai sarana mendidik. Dalam arti lebih luas, siapa pun dengan latar profesi apapun yang siap mengikuti perkembangan budaya maupun hasil teknologi modern sector informasi-komunikasi atau transportasi sah disebut integrasi kultural.

Pola tingkah laku sosial dapat juga dipilah menjadi pola formal dan informal. Dalam sebuah lembaga baik negeri maupun swasta, pola tingkah laku formal itu diatur secara normatitf semisal, konsultasi, koordinasi, rapat kerja, munas, mubes, perintah, instruksi, teguran, sanksi dll. Sedangkan pola informal adalah jenis-jenis tingkah laku yang di bawah tanah. Misal dalam sebuah lembaga tertentu ada dua orang atau yang disebabkan oleh satu dan lain hal sering mengadakan interaksi. Amat mungkin ada orang lain yang juga tertarik sehingga menambah jumlah individu yang punya tingkah laku informal dalam sebuah lembaga.

Sebaliknya dengan pola disintegrasi. Pola ini bergerak mulai dari berbeda pendapat, berbeda kebijakan, berselisih, konflik dan penentangan.



[1] http://en.Wikipedia.org/Wiki/Qualitative

[2] Levin, William C., Sociological Ideas, (California, Wadsworth, 1991), hlm. 41-42

[3] Drew, Clifford, J., Designing and Conducting Research: Inquring in Education and Social Sciences, (Boston, Allyn and Bacon, 1985), hlm. 33.

[4] Ibid, 33.

[5] Babbie, Earl, The Prctice of Social Research (California, Wadsworth, 1998), hlm. 233

[6] Creswell, John W., Research Design, Qualitative & Quantitative Approach, (London, SAGE, 1994), hlm. 117.

[7] Hilway, Introduction to Research, (Boston, Houghton Mifflin, 1964), 187.

[8] Arkava L., Morton dan Lane, Thomas A., Beginning Social Work Research, (Boston, Allyn and Bacon Inc, 1983), hlm. 167

[9] Ibid, 189

[10] Ibid, 191-192.

[11] Ibid, 193,

[12] Baca Hillway, 193

[13] http://www.lse.ac.uk/resources/LSEHistory/maliniwski,htm.

[14]Ibid.

[15] Cohen, Percy S., Modern Social Theory, (New York, The Free Press, 1967), hlm. 39

[16]Ibid, 40-41.

[17] Clifford J. Drew, Designing and Conducting Research: Inquiry in Education and Social Sciences (Boston, Allyn and Bacon, 1985) , hlm. 161.

[18] Tesch, Renata, Qualitative Research, Analysis Types & Software Tools, (London, TheFalmer Press, 1995), 23-24

[19] Vidich dan Lyman, “Qualitative Methods, Their History in Sociology and Anthropology”, dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, , Handbook of Qualitative Research, (London, SAGE, 1994), hlm. 23.

[20] Ibid, 24.

[21] Ibid, 23.